HADIST-HADIST
Saat
menghadapi musibah, doa merupakan senjata utama seorang hamba. Melalui doa,
seorang hamba berpasrah diri kepada Allah, bersimpuh di hadapan-Nya dan
mengharapkan pertolongan-Nya semata. Salah satu doa yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam saat tertimpa musibah adalah doa
berikut ini:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
“Kita milik
Allah semata dan sesungguhnya hanya kepada-Nya semata kita kembali. (QS.
Al-Baqarah [2]: 156). Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang
menimpaku, dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah yang telah
menimpa.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat
lain doa tersebut berbunyi:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
“Kita milik
Allah semata dan sesungguhnya hanya kepada-Nya semata kita kembali. (QS.
Al-Baqarah [2]: 156). Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang
menimpaku, dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah yang telah
menimpa.” (HR. Ahmad dan Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi)
Doa tersebut
telah diamalkan dan dibuktikan sendiri khasiatnya oleh perawi hadits tersebut,
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits
berikut ini:
(1). Dari Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata:
“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak
ada seorang hamba pun yang tertimpa sebuah musibah, kemudian ia mengucapkan:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
“Kita milik
Allah semata dan sesungguhnya hanya kepada-Nya semata kita kembali. (QS.
Al-Baqarah [2]: 156). Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang
menimpaku, dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah yang telah
menimpa.”
Kecuali Allah
pasti akan memberinya pahala atas musibah yang menimpanya dan memberinya ganti
yang lebih baik dari apa yang telah hilang darinya.
Ummu Salamah
berkata: “Ketika suami saya Abu Salamah meninggal, saya pun membaca doa
tersebut sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam. Maka Allah menggantikan untukku Abu Salamah dengan orang yang lebih
baik, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.” (HR. Muslim no. 918)
(2). Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, “Pada suatu hari suamiku Abu Salamah
kembali dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia berkata, “Saya telah
mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam suatu perkataan yang
membuat aku begitu gembira. Beliau bersabda: “Tidaklah sebuah musibah menimpa
seorang pun dari kaum muslimin lalu ia beristirja’ (mengucapkan innaa
lillahi wa innaa ilaihi raji’un) saat tertimpa musibah tersebut, kemudian
ia mengucapkan:
اللهُمَّ
أْجُرْنِي
فِي
مُصِيبَتِي،
وَاخْلُفْ
لِي
خَيْرًا
مِنْهَا
“Ya Allah
berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku, dan berilah aku ganti yang
lebih baik daripada musibah yang telah menimpa.” Melainkan doa itu akan
terlaksana.”
Ummu Salamah
melanjutkan ceritanya, “Maka aku pun menghafalkan doa tersebut dari Abu
Salamah. Ketika Abu Salamah meninggal, aku pun mengucapkan innaa lillahi wa
innaa ilaihi raji’un dan membaca doa:
اللهُمَّ
أْجُرْنِي
فِي
مُصِيبَتِي،
وَاخْلُفْ
لِي
خَيْرًا
مِنْهَا
“Ya Allah
berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku, dan berilah aku ganti yang
lebih baik daripada musibah yang telah menimpa.”
Aku kemudian
bertanya-tanya dalam hati, “Dari mana saya mendapatkan ganti yang lebih baik
daripada suamiku Abu Salamah?”
Ketika masa
‘iddah saya telah habis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam meminta izin
bertemu denganku. Saat itu aku sedang menyamak kulit, maka aku pun segera
mencuci tanganku dan member izin beliau bertamu. Saya meletakkan sebuah bantal
dari kulit yang diisi oleh serabut. Beliau duduk di atas bantal itu dan
melamarku.
Setelah beliau
selesai berbicara, saya pun berkata, “Wahai Rasulullah, bukannya saya tidak
ingin dengan Anda. Namun saya ini seorang wanita yang sangat pencemburu. Saya
khawatir Anda akan melihat dariku perkara yang justru menyebabkan Allah
menyiksaku karenanya. Saya juga wanita yang telah berumur tua. Lebih dari itu
saya punya banyak anak.”
Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, “Perkara cemburu yang engkau
sebutkan tadi, maka Allah akan menghilangkannya darimu. Perkara usiamu yang
telah tua, aku pun mengalami hal yang sama denganmu. Sedangkan perkara
banyaknya anakmu, maka anak-anakmu adalah anak-anakku juga.”
Ummu Salamah
berkata, “Jika begitu, saya menyerahkan sepenuhnya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam akhirnya menikahi Ummu Salamah.
Ummu Salamah
berkata, “Allah Ta’ala telah menggantikan Abu Salamh untukku dengan orang yang
lebih baik, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.”(HR. Ahmad no.
16344 dan Ya’qub bin Sufyan al-Fasawi dalam al-Ma’rifah wa at-Tarikh)
Doa tersebut
berlaku umum untuk semua musibah yang menimpa seorang muslim. Doa tersebut
tidak berlaku khusus untuk musibah kehilangan suami atau istri semata. Sebab,
makna sebuah dalil syar’i disimpulkan dari keumuman lafalnya, bukan dari
kekhususan sebab turunnya dalil syar’i tersebut.
Selamat
mengamalkan doa yang agung ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
- See more at:
http://www.arrahmah.com/read/2012/12/14/25454-doa-saat-terkena-musibah.html#sthash.6VZT2KXN.dpuf
Sumber: Ibnu Majah
Tema: Sabar atas musibah
ما جاء في
الصبر على المصيبة
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ
بْنُ رُمْحٍ أَنْبَأَنَا
اللَّيْثُ
بْنُ سَعْدٍ عَنْ
يَزِيدَ
بْنِ أَبِي حَبِيبٍ
عَنْ سَعْدِ بْنِ
سِنَانٍ
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ
الْأُولَى
حَدَّثَنَا
هِشَامُ
بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ
حَدَّثَنَا
ثَابِتُ
بْنُ عَجْلَانَ عَنْ الْقَاسِمِ
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قَالَ يَقُولُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ ابْنَ آدَمَ
إِنْ صَبَرْتَ وَاحْتَسَبْتَ عِنْدَ الصَّدْمَةِ
الْأُولَى
لَمْ أَرْضَ لَكَ
ثَوَابًا
دُونَ الْجَنَّةِ
Telah
menceritakan kepada kami Hisyam bin
Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Isma'il bin
Ayyasy berkata, telah
menceritakan kepada kami Tsabit bin
'Ajlan dari Al Qasim
dari Abu Umamah
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Allah Subhaanahu
wa Ta'ala berfirman: "Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat
tertimpa musibah, maka aku tidak akan meridlai bagimu sebuah pahala kecuali
surga. "
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ
أَنْبَأَنَا
عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ
الْجُمَحِيُّ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ
بْنِ أَبِي سَلَمَةَ
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ
حَدَّثَهَا
أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يَقُولُ
مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يُصَابُ
بِمُصِيبَةٍ
فَيَفْزَعُ
إِلَى مَا أَمَرَ
اللَّهُ
بِهِ مِنْ قَوْلِهِ
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ عِنْدَكَ احْتَسَبْتُ مُصِيبَتِي فَأْجُرْنِي فِيهَا وَعَوِّضْنِي
مِنْهَا
إِلَّا آجَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهَا وَعَاضَهُ خَيْرًا مِنْهَا قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ
ذَكَرْتُ
الَّذِي
حَدَّثَنِي
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ عِنْدَكَ احْتَسَبْتُ مُصِيبَتِي هَذِهِ فَأْجُرْنِي
عَلَيْهَا
فَإِذَا
أَرَدْتُ
أَنْ أَقُولَ وَعِضْنِي خَيْرًا مِنْهَا قُلْتُ فِي
نَفْسِي
أُعَاضُ
خَيْرًا
مِنْ أَبِي سَلَمَةَ
ثُمَّ قُلْتُهَا فَعَاضَنِي اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
وَآجَرَنِي
فِي مُصِيبَتِي
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin
Abu Syaibah berkata,
telah menceritakan kepada kami Yazid bin
Harun berkata, telah
memberitakan kepada kami Abdul Malik
bin Qudamah Al Jumahi dari Bapaknya
dari Umar bin Abu
Salamah dari Ummu Salamah
bahwa Abu Salamah
menceritakan kepadanya, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim yang tertimpa musibah,
kemudian bersegera kepada apa yang diperintahkan Allah berupa ucapan,
"INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI RAAJI'UUN ALLAHUMMA 'INDAKA IHTASABTU
MUSHIIBATII FA`JURNII FIIHAA WA 'AWWIDLNII MINHAA AAJARAHU ALLAHU 'ALAIHAA WA
'AADLAHU KHAIRAN MINHAA (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya
kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, di sisi-Mu aku rela dengan musibah yang
menimpaku, maka berilah aku pahala dan gantilah dengan yang lebih baik
darinya), melainkan Allah pasti akan memberinya pahala dan menggantinya dengan
yang lebih baik. " Ummu Salamah berkata, "Ketika Abu Salamah wafat
aku teringat dengan yang ia ceritakan kepadaku, dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Maka aku pun mengucapkan, "INNAA LILLAAHI WA INNAA
ILAIHI RAAJI'UUN ALLAHUMMA 'INDAKA IHTASABTU MUSHIIBATII HADZIHI FA`JURNII
'ALAIHAA (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan
kembali kepada-Nya. Ya Allah, di sisi-Mu aku rela dengan musibah yang
menimpaku, maka berilah aku pahala). Dan ketika aku akan mengatakan; WA
'AWWIDLNII KHAIRAN MINHAA (Dan gantilah dengan yang lebih baik darinya). Aku
berkata dalam diriku, "Akankah aku minta ganti dengan orang yang lebih
baik dari Abu Salamah? Namun aku pun mengucapkannya juga. Setelah itu Allah
memberi ganti dengan Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, serta memberi
pahala kepadaku atas musibah yang menimpaku. "
حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ
بْنُ عَمْرِو بْنِ السُّكَيْنِ
حَدَّثَنَا
أَبُو هَمَّامٍ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ
عُبَيْدَةَ
حَدَّثَنَا
مُصْعَبُ
بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَتَحَ رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَابًا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ
النَّاسِ
أَوْ كَشَفَ سِتْرًا
فَإِذَا
النَّاسُ
يُصَلُّونَ
وَرَاءَ
أَبِي بَكْرٍ فَحَمِدَ
اللَّهَ
عَلَى مَا رَأَى
مِنْ حُسْنِ حَالِهِمْ
رَجَاءَ
أَنْ يَخْلُفَهُ اللَّهُ فِيهِمْ بِالَّذِي رَآهُمْ فَقَالَ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ
أَيُّمَا
أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ
أَوْ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ
أُصِيبَ
بِمُصِيبَةٍ
فَلْيَتَعَزَّ
بِمُصِيبَتِهِ
بِي عَنْ الْمُصِيبَةِ
الَّتِي
تُصِيبُهُ
بِغَيْرِي
فَإِنَّ
أَحَدًا
مِنْ أُمَّتِي لَنْ يُصَابَ
بِمُصِيبَةٍ
بَعْدِي
أَشَدَّ
عَلَيْهِ
مِنْ مُصِيبَتِي
Telah
menceritakan kepada kami Al Walid bin
Amru bin As Sukkain berkata,
telah menceritakan kepada kami Abu Hammam
berkata, telah menceritakan kepada kami Musa bin
Ubaidah berkata, telah
menceritakan kepada kami Mush'ab bin
Muhammad dari Abu Salamah
bin 'Abdurrahman dari 'Aisyah
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membuka pintu antara
beliau dengan orang-orang, atau menyingkap tirai. Ketika itu orang-orang sedang
melaksanakan shalat di belakang Abu Bakar. Beliau lalu memuji Allah atas
kondisi mereka yang baik, dengan harapan agar Allah memberikan ganti atas
dirinya untuk mereka seorang yang dilihatnya bersama mereka (maksudnya Abu
Bakar). Beliau bersabda: "Wahai manusia, siapa saja orangnya dari kaum
mukmin yang ditimpa musibah, hendaklah ia hibur dengan musibah yang menimpaku.
Seorang dari umatku tidak akan pernah ditimpa musibah seperti musibah yang menimpaku.
"
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ
عَنْ هِشَامِ بْنِ زِيَادٍ
عَنْ أُمِّهِ عَنْ فَاطِمَةَ
بِنْتِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيهَا
قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أُصِيبَ
بِمُصِيبَةٍ
فَذَكَرَ
مُصِيبَتَهُ
فَأَحْدَثَ
اسْتِرْجَاعًا
وَإِنْ تَقَادَمَ عَهْدُهَا كَتَبَ اللَّهُ
لَهُ مِنْ الْأَجْرِ
مِثْلَهُ
يَوْمَ أُصِيبَ
Ketahuilah
wahai saudaraku -semoga Allah merahmati kita semua- telah menjadi ketetapan
dari Allah Azza wa Jalla bahwa
setiap manusia pasti pernah mengalami sakit dan musibah selama hidupnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa
innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna
dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).
Sakit
dan musibah yang menimpa seorang mukmin mengandung hikmah yang merupakan rahmat
dari Allah Ta’ala. Imam Ibnul Qayyim berkata : “Andaikata kita bisa
menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak
kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita
terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan
ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan
inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini”. (Syifa-ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil hal
452).
"BERSABAR
PADA COBAAN DIDUNIA UTK MNDPTKAN KEBAHAGIAAN ABADI DIAKHIRAT"
Nabi SAW bersabda,“Jika Allah m'hendaki kebaikan untuk seorang
hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya didunia.Sebaliknya jika
Allah menghendaki keburukan utk seorang hamba maka Allah akan biarkan orang
tersebut dgn dosa2nya sehingga Allah akan memberikan balasan untuk dosa
tersebut pd hari Kiamat nanti”(HR Tirmidzi, hasan)
Dalam
menyikapi sakit dan musibah tersebut, berikut ini ada beberapa prinsip yang
harus menjadi pegangan seorang muslim :
1. Sakit dan Musibah adalah Takdir Allah Azza wa Jalla
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman
:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan
(tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa
seseorang melainkan dengan izin Allah” (QS. At-Taghaabun :
11).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum
Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).
2. Sakit dan Musibah Adalah Penghapus Dosa
Ini
adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Dan hikmah ini
sayangnya tidak banyak diketahui oleh saudara-saudara kita yang tertimpa
musibah. Acapkali kita mendengar manusia ketika ditimpa sakit dan musibah malah
mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan yang lebih parah meratapi nasib dan
berburuk sangka dengan takdir Allah. Nauzubillah, kita
berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal apabila mereka
mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka -insya
Allah- sakit dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat
dan kasih sayang dari Allah Ta’ala.
Hikmah dibalik sakit
dan musibah diterangkan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit
dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya
seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”.
(HR. Bukhari no. 5660
dan Muslim no. 2571).
“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan,
penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang
menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari
kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).
“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang
terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan
yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR.
Muslim no. 2573).
“Bencana senantiasa menimpa orang mukmin dan
mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah
dalam keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya”.
(HR. Tirmidzi no.
2399, Ahmad II/450, Al-Hakim I/346 dan IV/314, Ibnu Hibban no. 697, dishohihkan
Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh
Zham-aan no. 576).
“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji
hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”.
(HR. Al-Hakim I/348, dishohihkan
Syeikh Albani dalam kitab Shohih
Jami’is Shoghirno.1870).
“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang
lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan
dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim no. 2572).
“Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin
dari api neraka”. (HR. Al-Bazzar, dishohihkan Syeikh Albani
dalam kitab Silsilah al Hadiits
ash Shohihah no. 1821).
“Janganlah kamu mencaci-maki penyakit demam,
karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa
anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi”. (HR.
Muslim no. 2575).
Walaupun demikian,
apabila seorang mukmin ditimpa suatu penyakit tidaklah meniadakan usaha
(ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah shallalllahu
alaihi wa sallam bersabda : “Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya”. (HR.
Bukhari no. 5678). Dan yang perlu diperhatikan dalam berobat ini adalah
menghindarkan dari cara-cara yang dilarang agama seperti mendatangi dukun,
paranormal, ‘orang pintar’, dan sebangsanya yang acapkali dikemas dengan label
‘pengobatan alternatif’. Selain itu dalam berobat juga tidak diperbolehkan
memakai benda-benda yang haram seperti darah, khamr, bangkai dan sebagainya
karena telah ada larangannya dari Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallamyang bersabda :
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan
obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR.
Ad Daulabi dalam al-Kuna,
dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash- Shohihah no. 1633).
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan
kalian pada apa-apa yang haram”.
(HR. Abu Ya’la dan
Ibnu Hibban no. 1397. Dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitabMawaaridizh Zham-aan no. 1172).
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan
penyakit kalian pada apa-apa yang diharamkan atas kalian”. (HR.
Bukhari, di-maushulkan ath-Thabrani
dalam Mu’jam al Kabiir,
berkata Ibnu Hajar : ‘sanadnya shohih’, Fathul
Baari : X/78-79).
3. Wajib Bersabar dan Ridho Apabila Ditimpa Sakit dan Musibah
Apabila
sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho
terhadap takdir Allah Azza wa
Jalla, dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya
sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan
‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh :
155-157).
Dalam
beberapa hadis Qudsi Allah Azza wa
Jalla berfirman :
“Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari
keridhoan pada saat musibah yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu
melainkan surga”.
(HR.
Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).
Maksud
hadis diatas yakni apabila seorang hamba ridho dengan musibah yang menimpanya
maka Allah ridho memberikan pahala kepadanya dengan surga.
“Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka
Allah akan berkata kepada malaikat-Nya : ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa
anak hamba-Ku?. Para Malaikat menjawab : ‘Ya, benar’. Lalu Dia bertanya lagi : ‘Apakah
kalian mengambil buah hatinya?’. Malaikat menjawab : ‘Ya’. Kemudian Dia berkata
: ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu?’. Malaikat menjawab ‘Ia memanjatkan
pujian kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa
ilaihi roji’un). Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘Bangunkan untuk hamba-Ku
sebuah rumah di surga dan namai dengan (nama) Baitul Hamd (rumah pujian)’.” (HR
Tirmidzi no.1021, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi no. 814)
“Tidaklah ada suatu balasan (yang lebih pantas) di
sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya
dari penduduk dunia kemudian ia bersabar atas kehilangan orang kesayangannya
itu melainkan surga”. (HR. Bukhari).
“Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : ‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang
dicintainya (yakni menjadikan seorang hamba kehilangan dua
penglihatannya/buta) lalu ia
bersabar maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga”. (HR.
Bukhari).
Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda
: “Sesungguhnya besarnya pahala
itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah menyukai suatu kaum,
maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho maka baginya keridhoan,
dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. (HR. Tirmidzi
no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi II/286).
Hikmah
lainnya dari sakit dan musibah adalah menyadarkan seorang hamba yang tadinya
lalai dan jauh dari mengingat Allah -karena tertipu oleh kesehatan badan dan
sibuk mengurus harta- untuk kembali mengingat Robb-nya. Karena jika Allah
mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah barulah ia merasakan kehinaan,
kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah
Ta’ala, sehingga ia kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon
ampunan dan berdoa kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
: “Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka
dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada
Allah) dengan tunduk merendahkan diri”. (QS. Al-An’aam : 42).
Sakit
dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba
bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza
wa Jalla. Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga
ia akan selalu tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa
mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya,
hanyalah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala semata.
“Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti
Allah menurunkan (pula) obatnya.”
(HR.
Bukhari-Muslim)
Sampai
saat ini, banyak jenis penyakit yang menurut kajian medis modern tidak ada
obatnya atau tidak bisa disembuhkan. Penyakit seperti HIV atau AIDS, diabetes,
demam berdarah, hepatitis, gagal ginjal, jantung, alergi, influensa, kista,
kanker, tumor, dan lainnya. Bahkan, tidak sedikit dokter yang memberikan obat
kepada pasiennya dengan pesan bahwa obat yang diberikan tidak menjamin kesembuhan,
melainkan hanya mengurangi (menghilangkan) rasa sakit.
Sesungguhnya
kenyataan ataupun teori adanya penyakit yang tidak ada obatnya atau tidak bisa
disembuhkan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena, sejak lima belas abad
silam, Rasulullah Muhammad saw menegaskan, bahwa setiap penyakit ada obatnya
dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt, kecuali penuaan dan kematian.
Sedangkan ragam obatnya sendiri sudah disediakan (diciptakan) oleh Sang Maha
Penyembuh Allah swt, begitu pula teori dan praktik pengobatannya secara garis
besar maupun detail telah disejajarkan Rasulullah saw selaku teladan utama
dalam dunia kedokteran.
Imam
Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw yang mengatakan: “Masing-masing
penyakit pasti ada obatnya. Kalau obat sudah mengenai penyakit, penyakit itu,
pasti akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.
Mengenai
obat, ada satu obat yang berguna bagi segala penyakit, yakni HABBATUSSAUDA. Obat sekaligus
suplemen ini insya Allah dapat menyembuhkan segala penyakit, kecuali kematian.
Hadits Rasulullah: “Gunakanlah Habbatussauda sebagai obat, karena ia dapat
menyembuhkan segala penyakit, kecuali kematian.” (HR. Bukhari)
Dalam
Shahih Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad saw bersabda: “Setiap kali Allah
menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan obatnya.” Sementara Allah swt
sendiri yang Mahakuasa atas kesembuhan seseorang dari penyakit berfirman dalam
Surat Asy-Su’ara ayat 80: “Dan manakala aku (Muhammad) sakit, Dia (Allah)-lah
yang menyembuhkanku.”
Pakar
kedokteran Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “ATH-THIBUN AN-NABAWI”
mengatakan, bahwa ungkapan Nabi “Setiap penyakit ada obatnya”, memberikan
semangat kepada orang yang sakit dan juga dokter (thabib) yang mengobatinya,
selain juga mengandung anjuran untuk mencari obat dan menyelidikinya. Karena,
jelas Ibnu Qayyim, kalau orang sakit sudah merasakan pada dirinya satu
keyakinan bahwa ada obat yang akan dapat menghilangkan rasa sakitnya, ia akan
bergantung pada ruh harapan. Rasa panas dari keputusasaan akan berhasil ia
dinginkan sehingga pintu harapan terbuka lebar.
Kalau
jiwanya sudah kuat, paparnya, suhu panas insting seseorang akan meningkat.
Kalau semangat seperti itu sudah meningkat, maka stamina yang mendukung tubuhnya
juga meningkat sehingga mampu mengatasi, bahkan mengusir penyakit.
Demikian
juga bagi dokter itu sendiri, kalau ia sudah meyakini bahwa setiap penyakit
pasti ada obatnya, ia juga bisa terus mencari obat dari suatu penyakit dan
terus melakukan penelitian.
Dalam
sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim Khalilullah pernah bertanya, “Ya
Rabbii, dari manakah penyakit itu berasal?” Allah menjawab, “Dari-Ku.” Ibrahim
kembali bertanya, “Lalu, dari mana asal obatnya?” Alla menjawab, “Dari-Ku
juga.” Kembali Ibrahim bertanya, “Kalau begitu, apa gunanya dokter?” Allah
menjawab, “Ia adalah mankhluk yang diutus oleh-Ku untuk membawa obat dari-Ku.”
Dokter
yang dimaksud tersebut adalah ahli medis yang mendasarkan ilmu dan metode pengobatannya
pada Alquran dan Alhadits, bukannya mereka (ahli medis) yang mendasarkan ilmu
dan pengobatannya pada teori Barat semata tanpa mau menengok metode pengobatan
Islami.
Bagi
ahli medis atau ahli pengobatan yang berani mengatakan adanya penyakit yang
tidak ada obatnya atau tidak bisa disembuhkan – meski dia Muslim – hal itu
telah melanggar kode etik pengobatan Islami yang meyakini bahwa setiap penyakit
ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt. Ahli medis yang meyakini
adanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau tiada obatnya membuktikan
bahwa yang bersangkutan dalam kinerjanya sama sekali tidak menggunakan media
pengobatan yang dianjurkan Allah swt dan Rasul-Nya. Ahli pengobatan yang
meyakini adanya penyakit yang tidak ada obatnya atau tidak bisa disembuhkan
pada umumnya kerap membuat pasiennya pesimis, stres, dan berperan aktif dalam
merusak aqidah pasiennya atas kekuasaan Allah swt sebagai Maha Penyembuh.
Padahal
Rasulullah saw telah mengingatkan dalam sebuah sabdanya: “Salah satu diantara
sunnahku adalah pengobatan.” Dengan demikian, jelaslah bahwa perhatian Islam
terhadap dunia medis tiada yang mengungguli. Dan bila saat ini banyak diantara
kaum Muslim bergantung pada metode pengobatan Barat, hal itu akibat kelalaian
kaum Muslimin sendiri yang enggan mengakali, mengamalkan, serta mengembangkan
pengobatan yang Islami.
Ahli
medis yang merujuk pada pengobatan Islami, tentunya selalu memberikan solusi
terapi yang efektif dan absolut serta senantiasa membangkitkan optimisme pada
pasiennya untuk mencapai kesembuhan. Sebab, hal utama yang akan ditanamkan pada
pasiennya, bahwa setiap penyakit ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin
Allah swt. Lantas dalam praktik pengobatannya selalu membangun komunikasi yang
dialogis dan penuh kasih sayang, sekaligus berupaya membangkitkan keyakinan
akan kesembuhan.
Pada
dasarnya, metode pengobatan Islami terhindar dari unsur-unsur kezhaliman dan
pemikiran komersialisasi belaka, sebab Islam menganjurkan umatnya untuk saling
tolong-menolong dalam kebajikan dan melarang umatnya tolong-menolong dalam
kemungkaran. Pada gilirannya panduan tentang kiat-kiat menjaga kesehatan,
pemeliharaan kesehatan serta pencegahan (pengobatan) terhadap berbagai penyakit
merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang seharusnya diamalkan oleh umat
dalam rangka menjadi Muslim yang kaaffah.
Untuk
itu, metode pengobatan dan obat-obatan yang telah diresepkan oleh Allah swt
melalui Rasul-Nya tidak boleh sedikitpun diragukan, apakah itu hijamah (bekam),
ruqyah, madu, habbatussauda, dan lainnya selama diamalkan sesuai syariat.
Melalui
pendekatan tersebut, ‘dokter’ dan pasien selalu melakukan praktik pengobatan
yang akan semakin meningkatkan kecintaan kedua belah pihak pada Allah swt dan
Rasul-Nya. Bukan sebaliknya, pengobatan yang dijalankan merujuk pada konsep
yang bertentangan dengan Alquran dan Assunnah.
Sebab,
pengobatan yang tidak Islami biasanya hanya membuat hubungan yang semu antara
‘dokter’ dan pasien serta tidak memberikan kesembuhan yang sesungguhnya.
.Perlu
disadari, bahwa hakikat kesembuhan bukanlah milik dokter atau thabib, lembaga
pengobatan atau obat, melainkan hak mutlak Allah swt. Untuk itu, berbahagialah
mereka yang tengah dirundung sakit tetapi tidak sedikitpun mengeluh dan
senantiasa berupaya mendasarkan pengobatan atau penyembuhan melalui metode
pengobatan yang diridhai Allah swt.
TIDAK
BERPUTUS ASA DALAM MENGHARAP RIDHA ALLAH SWT
“Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti
Allah menurunkan (pula) obatnya.”
(HR.
Bukhari-Muslim)
Sampai
saat ini, banyak jenis penyakit yang menurut kajian medis modern tidak ada
obatnya atau tidak bisa disembuhkan. Penyakit seperti HIV atau AIDS, diabetes,
demam berdarah, hepatitis, gagal ginjal, jantung, alergi, influensa, kista,
kanker, tumor, dan lainnya. Bahkan, tidak sedikit dokter yang memberikan obat
kepada pasiennya dengan pesan bahwa obat yang diberikan tidak menjamin
kesembuhan, melainkan hanya mengurangi (menghilangkan) rasa sakit.
Sesungguhnya
kenyataan ataupun teori adanya penyakit yang tidak ada obatnya atau tidak bisa
disembuhkan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena, sejak lima belas abad
silam, Rasulullah Muhammad saw menegaskan, bahwa setiap penyakit ada obatnya
dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt, kecuali penuaan dan kematian.
Sedangkan ragam obatnya sendiri sudah disediakan (diciptakan) oleh Sang Maha
Penyembuh Allah swt, begitu pula teori dan praktik pengobatannya secara garis
besar maupun detail telah disejajarkan Rasulullah saw selaku teladan utama
dalam dunia kedokteran.
Imam
Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw yang mengatakan: “Masing-masing
penyakit pasti ada obatnya. Kalau obat sudah mengenai penyakit, penyakit itu,
pasti akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.
Mengenai
obat, ada satu obat yang berguna bagi segala penyakit, yakni HABBATUSSAUDA. Obat sekaligus
suplemen ini insya Allah dapat menyembuhkan segala penyakit, kecuali kematian.
Hadits Rasulullah: “Gunakanlah Habbatussauda sebagai obat, karena ia dapat
menyembuhkan segala penyakit, kecuali kematian.” (HR. Bukhari)
Dalam
Shahih Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad saw bersabda: “Setiap kali Allah
menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan obatnya.” Sementara Allah swt
sendiri yang Mahakuasa atas kesembuhan seseorang dari penyakit berfirman dalam
Surat Asy-Su’ara ayat 80: “Dan manakala aku (Muhammad) sakit, Dia (Allah)-lah
yang menyembuhkanku.”
Pakar
kedokteran Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “ATH-THIBUN AN-NABAWI”
mengatakan, bahwa ungkapan Nabi “Setiap penyakit ada obatnya”, memberikan
semangat kepada orang yang sakit dan juga dokter (thabib) yang mengobatinya,
selain juga mengandung anjuran untuk mencari obat dan menyelidikinya. Karena,
jelas Ibnu Qayyim, kalau orang sakit sudah merasakan pada dirinya satu
keyakinan bahwa ada obat yang akan dapat menghilangkan rasa sakitnya, ia akan
bergantung pada ruh harapan. Rasa panas dari keputusasaan akan berhasil ia
dinginkan sehingga pintu harapan terbuka lebar.
Kalau
jiwanya sudah kuat, paparnya, suhu panas insting seseorang akan meningkat.
Kalau semangat seperti itu sudah meningkat, maka stamina yang mendukung
tubuhnya juga meningkat sehingga mampu mengatasi, bahkan mengusir penyakit.
Demikian
juga bagi dokter itu sendiri, kalau ia sudah meyakini bahwa setiap penyakit
pasti ada obatnya, ia juga bisa terus mencari obat dari suatu penyakit dan
terus melakukan penelitian.
Dalam
sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim Khalilullah pernah bertanya, “Ya
Rabbii, dari manakah penyakit itu berasal?” Allah menjawab, “Dari-Ku.” Ibrahim
kembali bertanya, “Lalu, dari mana asal obatnya?” Alla menjawab, “Dari-Ku
juga.” Kembali Ibrahim bertanya, “Kalau begitu, apa gunanya dokter?” Allah
menjawab, “Ia adalah mankhluk yang diutus oleh-Ku untuk membawa obat dari-Ku.”
Dokter
yang dimaksud tersebut adalah ahli medis yang mendasarkan ilmu dan metode
pengobatannya pada Alquran dan Alhadits, bukannya mereka (ahli medis) yang
mendasarkan ilmu dan pengobatannya pada teori Barat semata tanpa mau menengok
metode pengobatan Islami.
Bagi
ahli medis atau ahli pengobatan yang berani mengatakan adanya penyakit yang
tidak ada obatnya atau tidak bisa disembuhkan – meski dia Muslim – hal itu
telah melanggar kode etik pengobatan Islami yang meyakini bahwa setiap penyakit
ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin Allah swt. Ahli medis yang meyakini
adanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau tiada obatnya membuktikan
bahwa yang bersangkutan dalam kinerjanya sama sekali tidak menggunakan media
pengobatan yang dianjurkan Allah swt dan Rasul-Nya. Ahli pengobatan yang
meyakini adanya penyakit yang tidak ada obatnya atau tidak bisa disembuhkan
pada umumnya kerap membuat pasiennya pesimis, stres, dan berperan aktif dalam
merusak aqidah pasiennya atas kekuasaan Allah swt sebagai Maha Penyembuh.
Padahal
Rasulullah saw telah mengingatkan dalam sebuah sabdanya: “Salah satu diantara
sunnahku adalah pengobatan.” Dengan demikian, jelaslah bahwa perhatian Islam
terhadap dunia medis tiada yang mengungguli. Dan bila saat ini banyak diantara
kaum Muslim bergantung pada metode pengobatan Barat, hal itu akibat kelalaian
kaum Muslimin sendiri yang enggan mengakali, mengamalkan, serta mengembangkan
pengobatan yang Islami.
Ahli
medis yang merujuk pada pengobatan Islami, tentunya selalu memberikan solusi
terapi yang efektif dan absolut serta senantiasa membangkitkan optimisme pada
pasiennya untuk mencapai kesembuhan. Sebab, hal utama yang akan ditanamkan pada
pasiennya, bahwa setiap penyakit ada obatnya dan bisa disembuhkan atas izin
Allah swt. Lantas dalam praktik pengobatannya selalu membangun komunikasi yang
dialogis dan penuh kasih sayang, sekaligus berupaya membangkitkan keyakinan
akan kesembuhan.
Pada
dasarnya, metode pengobatan Islami terhindar dari unsur-unsur kezhaliman dan
pemikiran komersialisasi belaka, sebab Islam menganjurkan umatnya untuk saling
tolong-menolong dalam kebajikan dan melarang umatnya tolong-menolong dalam
kemungkaran. Pada gilirannya panduan tentang kiat-kiat menjaga kesehatan,
pemeliharaan kesehatan serta pencegahan (pengobatan) terhadap berbagai penyakit
merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang seharusnya diamalkan oleh umat
dalam rangka menjadi Muslim yang kaaffah.
Untuk
itu, metode pengobatan dan obat-obatan yang telah diresepkan oleh Allah swt
melalui Rasul-Nya tidak boleh sedikitpun diragukan, apakah itu hijamah (bekam),
ruqyah, madu, habbatussauda, dan lainnya selama diamalkan sesuai syariat.
Melalui
pendekatan tersebut, ‘dokter’ dan pasien selalu melakukan praktik pengobatan
yang akan semakin meningkatkan kecintaan kedua belah pihak pada Allah swt dan
Rasul-Nya. Bukan sebaliknya, pengobatan yang dijalankan merujuk pada konsep
yang bertentangan dengan Alquran dan Assunnah.
Sebab,
pengobatan yang tidak Islami biasanya hanya membuat hubungan yang semu antara
‘dokter’ dan pasien serta tidak memberikan kesembuhan yang sesungguhnya.
Perlu
disadari, bahwa hakikat kesembuhan bukanlah milik dokter atau thabib, lembaga
pengobatan atau obat, melainkan hak mutlak Allah swt. Untuk itu, berbahagialah
mereka yang tengah dirundung sakit tetapi tidak sedikitpun mengeluh dan
senantiasa berupaya mendasarkan pengobatan atau penyembuhan melalui metode
pengobatan yang diridhai Allah swt. seperti contoh , saat ini pengobatan dengan
madu dan PROPOLIS juga dimi nati krn memang terbukti telah memberi bnyk
kesembuhan pada BERBAGAI MACAM penyakit, sesuai yang tertera dalam QS AN
NAHL:
Dan
Rabbmu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.
(QS.
An-Nahl, 16:68)
Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang
memikirkan. (QS. An-Nahl, 16: 69)
SEMOGA
BERMANFAAT,,